Embun Bening di Balik Senyum

0 komentar Monday, October 30, 2006
Iringan takbir yang menelusup jiwa masih itu saja bergema, mengiringi langkah kami menuju rumah yang mungil. Hari itu ada senyum di setiap wajah. Senyum yang bukan hanya keramahan, tapi senyum yang berpadu berjuta rasa dalam sebuah kalbu. Senyum yang tiada cuma melahirkan tawa, tapi juga mengendapkan embun di sudut mata.

Dengan kopiah hitam dan berbaju batik coklat, mata renta itu terlihat sembab, merah. Ada pecahan cahaya dari genangan embun di sudut kedua matanya. Di sebelahnya, ada juga sepasang mata yang lebih tergenang, lebih merah. Dalam balutan jubah dan kerudung merah, beliau duduk dengan pundak tergetar. Ibu dan Bapak larut dalam sebuah rasa yang begitu haru.

Saya masih berdiri, saat kakak yang lebih tua bersimpuh di kaki beliau berdua. Saya pandangi fragmen fragmen setiap detik ini. Tak terasa mata ini berat, mengembung lalu basah, mengalir butir butir bening. Dua sosok renta di hadapan saya ini, berarti, begitu berjasa, begitu lelah menghadapi likunya kehidupan.Angan saya kembali pada berbagai tapak waktu.

Bagaimana saya yang masih kecil, begitu menyusahkan sang ibu, dalam kepayahannya, beliau masih mendekap sayang pada anak anaknya. Sang ayah, yang begitu keras dalam ikhtiarnya mencari rezeqi, siang malam tiada henti. Pergi pagi pulang hampir pagi, tidur satu jam kembali ke tempat bekerja. Mengangkat beban berpuluh kilo, dengan harga beberapa ratus rupiah, ditelateni hanya untuk kami anak anaknya.

Terlintas juga, saat sebelum subuh ibu telah bangun, memasak ayam panggang, hingga matang sehabis dukha, setelah itu beliau pergi berjalan ke stasiun, ke terminal, ke perumahan menjajakan ayam panggang. Pulang agak sore dengan membawa sekantong oleh oleh dan sejumlah ayam untuk kembali diolah. Menyiapkan bumbu bumbunya hingga malam. Dan kembali berulanglah hari hari beliau.

Saya tatap keduanya, wajah yang begitu lelah dalam rentanya, wajah yang mestinya tiada perlu lagimerasakan beratnya langkah. Saya, kami telah dewasa, telah menjadi pribadi mandiri. Tidak tega melihat wajah wajah mereka berbalut nestapa.

Saya raih tangan ibu, kucium tangan beliau, "Ibu, maafkan saya, yang telah begitu banyak salah, khilaf, yang telah begitu menjadi beban berat di hati dan pundak ibu, ampuni anakmu ini.Mohon doa restu dalam setiap langkah langkah kami..." Dengan terbata dan tergetar beliaupun menjawab singkat. Sayapun direngkuh dalam pelukan beliau,berbareng dalam ciuman sayang di pipi say.

Selangkah kemudian, saya raih tangan Bapak, tangan yang begitu kekar karena begitu beratnya yang dibawa. Ada kehangatan seorang bapak. Saya ciumi tangan beliau semabri memohon maaf atas semua sama seperti pada ibu. Wajah rentanya, haru menahan suara kalbu, tergetar saat kata kata terlontar. "Bapak juga minta maaf, bila sebagai orangtua banyak kekurangan dalam bersikap...

Tidak Bapak, kata saya dlam hati, bagaimanapun juga Bapak dan IBu telah begitu letih melangkah membawa kami, kami yang begitu banyak menyakiti hati kalian karena ketidakmatangan kami. Kami hanyalah anak anak yang tumbuh dan tumbuh hanya dengan siraman kalian. Hati saya berkata demikian.

Saya kembali memandang mereka berdua, ampuni kami ya Ibu Bapak, doakan kami dunia dan akhirat. Ridho kalian adalah Ridho ALLAH juga.Smoga dengan maaf dan restu kalian, kami bisa menjadi kebahagiaan bagi kalian...amien




»»  Baca Selengkapnya...
read more “Embun Bening di Balik Senyum”

Yang Renta Dalam Langkah

15 komentar Friday, October 06, 2006
Wajahnya kusut, keringat mengalir lekat, nafas setengah terengah. Ibu itu duduk kecapaian. Garis kerut di dahi menambah berlimpah sebuah rasa yang resah. "Ya harus gimana lagi, beban ibu begitu banyak, hutang ibu menumpuk, mau bersandar pada siapa, suami tiada, anak gak ada." kata beliau saat di tanya kenapa harus kerja. Jemarinya bergetar

Aku masih berdiri di sepeda anginku. Memandang haru. Begitu panjang usia yang ada, masih saja harus berjibaku dengan perputaran ekonomi yang labil. Di pasar ini. tidak cuma satu gambara ibu tersebut. Masih banyak lagi, piluhan, bahkan ratusan. Sejenak aku teringat teman baikku. Sebut saja P, ia hidup dengan seorang ibu, sedang sang ayah telah lama tiada. Sesekali aku berkunjung. Ada senyum trenyuh. Kadang beliau bercerita tentang perihnya perjalanan. Perjalanan dari seorang ibu yang sederhana, sederhana dalam benda juga sederhana dalam fikiran. Beliau bercerita tentang ombak badai perjuangan. Sedang asanya begitu tinggi buat sang anak, P.

Akupun berandai, bila ALLAH beri kemampuan lebih, bila punya harta tiada terhitung, pengin sekali mengajak berjalan bersama ibu ibu seperti itu. Terlintas juga cerita dari guru kala sekolah. Cerita tentang seorang tua duduk di depan rumahnya sambil menangis, kebingungan, mau di buat apa uangnya yang 5000-an, sedang harga berbagai kebutuhan begitu tinggi.

akupun tercenung, seberapa banyakkah ibu tua ibu tua seperti itu, yang mesti berjalan tertaih bersama waktu. Sedang saat yang bersamaan. Banyak anak muda berhura hura, tertawa dalam sebuah restoran. Sempatkah berpikir, bagaimana bila kelak menjadi seorang tua yang kesepian berkejaran dengan roda perekonomian.

Ibu, bapak, maafkanlah kami anak anakmu, yang belum dan tidak akan bisa membayar keringat dan nafas pengorbananmu kepada kami.
»»  Baca Selengkapnya...
read more “Yang Renta Dalam Langkah”

Dari sebuah ketersisihan

0 komentar
Sore kemaren saya kebetulan melihat tayangan Pildacil, ada seorang kontestan yang membuat saya terpana, Adi namanya. Dia tidak seperti kontestan lain. Kakinya seakan berbetuk X. Tadinya saya kira itu hanya actionnya yang begitu semangat layaknya seorang bocah. Ternyata itu memang kondisinya yang memang d harus disandangnya. Kelainan yang menurut medis karena kekurangan vitamin D.

Beberapa saat saya amati penampilan live-nya sambil berbuka. Meski kondisinya yang begitu, tampakm cahaya ghirohnya dalam membawakan ceramahnya. Apalagi saat dia menembangkan lagu Maju Tak Gentar yang telah di ubahnya syairnya. Dia juga begitu pedenya berada di panggung.

Setelah sholat maghrib, saya berusaha menelusuri jiwa jika seseorang seperti Adi tersebut. Sebuah penelusuruan yang juga sebelumnya melihat di televisi sebuah tayangan tentang seseorang yang cacat kakinya sehingga sampai berumur dia hanya berjalan ngesot istilah jawanya. Subhanallah, di kedua pribadi itu ada sebuah ketegaran yang kokoh. Di dalam tayangan tersebut juga terucapkan olehnya, sebut saja Pak Iqbal, Bahwa jika sampai ajal dia belum mendapatkan jodoh, mungkin sudah di sediakan di akhirot. Sebuah ketegaran yang jarang ditemukan. Ketegaran yang semakin luruh oleh dinamika zaman. Dinamika keduniaan dan kebendaan. Sebuah tanya muncul di relung dada. Apakah saya telah tegar menghadapi realita yang ada?

Setiap kita manusia pasti, mempunyai permasalahan. Tapi apakah kita sudah bijak dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Permasalahan yang kadang atau bahkan sering memakan hati kita, Yang tiada jarang mencerabut angan dan asa kita terhadap sesuatu.

Kembali kepada 2 tokoh sang bocah ADi dan Pak Iqbal. Saya yakin belum tentu kita yang normal tanpa cacat bisa berlaku seperti mereka. Karena untuk menjadi seperti mereka diperlukan sebuah kesabaran yang begitu besar. Kesabaran yang sering berbenturan dengan keingingan keinginan kita. Kesabaran yang bukan hasil dari keputus-asaan. Tapi kesabaran yang bukan menjadikan kekurangan sebagai beban.

Sungguh bahagia bagi orang orang yang bisa besabar. Allah telah berfirman tentang mereka,:Dan, sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan". (An-Nahl : 96)

"Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas". (Az-Zumar : 10)


Bahkan kita akan mengetahui bahwa keberuntungan pada hari kiamat dan keselamatan dari neraka akan mejadi milik orang-orang yang sabar. Firman Allah.
" Sedang para malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu, (sambil mengucapkan): 'Salamun 'alaikum bima shabartum'. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu". (Ar-Ra'd : 23-24)

Subhanallah, semoga bisa menjadi salah satu darikaum yang bisa bersabar. Kita sering mendengar sebagian orang berkata bahwa bila telah habis kesabarannya, or kesabarannnya telah habis, sungguh sebenarnya pernyataan tersebut tidak pada tempatnya alias tidak tepat. kesabaran itu tiada ada batasnya. Karena kesabaran itu berjalan seiring dengan cubaan yang ada. Dan cubaan yang ada itu akan selalu ada sepanjang usia manusia. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata. "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata :
"Artinya : Cobaan tetap akan menimpa atas diri orang mukmin dan mukminah, anak dan juga hartanya, sehingga dia bersua Allah dan pada dirinya tidak ada lagi satu kesalahanpun". (Isnadnya Hasan, ditakhrij At-Tirmidzy, hadits nomor 2510. Dia menyatakan, ini hadits hasan shahih, Ahmad 2/287, Al-Hakim 1/346, dishahihkan Adz-Dzahaby)

Dan kabar gembira bagi kita yang bisa berjalan di atas kesabaran.
Dari Abi Sa'id Al-Khudry dan Abu Hurairah Radhiyallahu anhuma, keduanya pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata.

"Artinya : Tidaklah seorang Mukmin ditimpa sakit, letih, demam, sedih hingga kekhawatiran yang mengusiknya, melainkan Allah mengampuni kesalahan-kesalahannya". (Ditakhrij Al-Bukhari 7/148-149, Muslim 16/130)

So mari kita selalu berusaha menjadi orang yang bersabar agar kita mendapatkan apa yang telah ALLAH janjikan..Bagi kita yang di karuniai wujud yang sempurna, tidakkah kita malu terhadap bocah bocah seperti Adi atau Pak Iqbal?
»»  Baca Selengkapnya...
read more “Dari sebuah ketersisihan”