Embun Bening di Balik Senyum

Iringan takbir yang menelusup jiwa masih itu saja bergema, mengiringi langkah kami menuju rumah yang mungil. Hari itu ada senyum di setiap wajah. Senyum yang bukan hanya keramahan, tapi senyum yang berpadu berjuta rasa dalam sebuah kalbu. Senyum yang tiada cuma melahirkan tawa, tapi juga mengendapkan embun di sudut mata.

Dengan kopiah hitam dan berbaju batik coklat, mata renta itu terlihat sembab, merah. Ada pecahan cahaya dari genangan embun di sudut kedua matanya. Di sebelahnya, ada juga sepasang mata yang lebih tergenang, lebih merah. Dalam balutan jubah dan kerudung merah, beliau duduk dengan pundak tergetar. Ibu dan Bapak larut dalam sebuah rasa yang begitu haru.

Saya masih berdiri, saat kakak yang lebih tua bersimpuh di kaki beliau berdua. Saya pandangi fragmen fragmen setiap detik ini. Tak terasa mata ini berat, mengembung lalu basah, mengalir butir butir bening. Dua sosok renta di hadapan saya ini, berarti, begitu berjasa, begitu lelah menghadapi likunya kehidupan.Angan saya kembali pada berbagai tapak waktu.

Bagaimana saya yang masih kecil, begitu menyusahkan sang ibu, dalam kepayahannya, beliau masih mendekap sayang pada anak anaknya. Sang ayah, yang begitu keras dalam ikhtiarnya mencari rezeqi, siang malam tiada henti. Pergi pagi pulang hampir pagi, tidur satu jam kembali ke tempat bekerja. Mengangkat beban berpuluh kilo, dengan harga beberapa ratus rupiah, ditelateni hanya untuk kami anak anaknya.

Terlintas juga, saat sebelum subuh ibu telah bangun, memasak ayam panggang, hingga matang sehabis dukha, setelah itu beliau pergi berjalan ke stasiun, ke terminal, ke perumahan menjajakan ayam panggang. Pulang agak sore dengan membawa sekantong oleh oleh dan sejumlah ayam untuk kembali diolah. Menyiapkan bumbu bumbunya hingga malam. Dan kembali berulanglah hari hari beliau.

Saya tatap keduanya, wajah yang begitu lelah dalam rentanya, wajah yang mestinya tiada perlu lagimerasakan beratnya langkah. Saya, kami telah dewasa, telah menjadi pribadi mandiri. Tidak tega melihat wajah wajah mereka berbalut nestapa.

Saya raih tangan ibu, kucium tangan beliau, "Ibu, maafkan saya, yang telah begitu banyak salah, khilaf, yang telah begitu menjadi beban berat di hati dan pundak ibu, ampuni anakmu ini.Mohon doa restu dalam setiap langkah langkah kami..." Dengan terbata dan tergetar beliaupun menjawab singkat. Sayapun direngkuh dalam pelukan beliau,berbareng dalam ciuman sayang di pipi say.

Selangkah kemudian, saya raih tangan Bapak, tangan yang begitu kekar karena begitu beratnya yang dibawa. Ada kehangatan seorang bapak. Saya ciumi tangan beliau semabri memohon maaf atas semua sama seperti pada ibu. Wajah rentanya, haru menahan suara kalbu, tergetar saat kata kata terlontar. "Bapak juga minta maaf, bila sebagai orangtua banyak kekurangan dalam bersikap...

Tidak Bapak, kata saya dlam hati, bagaimanapun juga Bapak dan IBu telah begitu letih melangkah membawa kami, kami yang begitu banyak menyakiti hati kalian karena ketidakmatangan kami. Kami hanyalah anak anak yang tumbuh dan tumbuh hanya dengan siraman kalian. Hati saya berkata demikian.

Saya kembali memandang mereka berdua, ampuni kami ya Ibu Bapak, doakan kami dunia dan akhirat. Ridho kalian adalah Ridho ALLAH juga.Smoga dengan maaf dan restu kalian, kami bisa menjadi kebahagiaan bagi kalian...amien




0 komentar: